Jumat, 28 September 2012

MENGGUGAT PERNYATAAN AMIEN RAIS YANG DAPAT MERUSAK PEMAHAMAN SERTA KEDUDUKAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


“Pancasila jangan sampai diposisikan seperti agama bayangan atau agama semu. Pancasila jangan dikultuskan, Pancasila jangan di sembah-sembah, dan Pancasila jangan menggusur agama,” ujar Amien dalam Seminar Nasional Empat Pilar Berbangsa yang digelar Fraksi PAN MPR di Jakarta, Selasa (10/7/2012).
“Menurut saya penataran P4 yang diajarkan pada Orde Baru sangat berlebihan karena menjadikan Pancasila seolah-olah sebagai agama semu. Memang penting bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memahami Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah negara. Namun jangan dikultuskan,” tegasnya.

Itulah pernyataan dari mantan ketua MPR dalam Seminar Nasional Empat Pilar Berbangsa yang digelar Fraksi PAN MPR di Jakarta, Selasa (10/7/2012). Tercatat dalam sejarah ia yang telah menjebolkan Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali dalam rentang waktu 2 (dua) Tahun yang membuat bangsa dan negara ini berjalam dalam kondisi yang tidak menentu dan semakin jauh pada tujuan negara. Dan pernyataan-nya kali ini bagi saya sudah tidak dapat dibiarkan saja, karena dapat semakin mengacaukan pemahaman serta kedudukan Pancasila yang selama ini telah menjadi Jatidiri bangsa Indonesia, falsafah bangsa, yang telah membuat bangsa ini utuh dan bertahan.

Bangsa Indonesia yang berasal dari pulau-pulau yang berada di wilayah Indonesia telah melahirkan Bangsa Indonesia melalui “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga, Bangsa Indonesia, pada awal mulanya, terdiri dari berbagai suku-suku asli yang ada di wilayah Indonesia dengan adat istiadatnya yang berbeda-beda.

Melihat keberaneka-ragaman perbedaan yang ada didalam Bangsa Indonesia (Suku, Agama, Golongan) maka ketika para pendiri bangsa melanjutkan perjuangannya untuk membentuk sebuah negara, mereka bersepakat membuat rumusan yang dapat mempersatukan berbagaimacam perbedaan tersebut, sehingga terbentuklah suatu rumusan yang disepakati dalam sidang yang diselenggarakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada awalnya beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa).

Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno diselenggarakan indoktrinasi operasionalisasi Pancasila dengan menyiapkan bahan yang dikenal sebagai “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi.”. Namun permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan. Gerakan Sparatis, Terorist, konflik horizontal banyak terjadi, dan itu karena bangsa Indonesia tidak melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen serta perlu untuk membenahi karakter bangsa dengan mengembangkan sikap dan perilaku warga negara sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya yang berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22 Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) melalui ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978. Dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia Seperti yang terdapat dalam Tap MPR pada konsideran menimbang, secara jelas ditekankan dalam huruf a “bahwa Pancasila yang merupakan pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia perlu dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan Nasional serta cita-cita Bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.

Kemudian huruf b menegaskan “bahwa demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan gerak langkah dalam hal menghayati serta mengamalkan Pancasila diperlukan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”. TAP MPR yang terdiri dari 6 (enam) pasal ini merupakan suatu kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI sebagai penjelmaan rakyat, yang berperan penting dalam menuntun dan menjadi Pandangan Hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat serta wajib ditindaklanjuti sebaik-baiknya oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Dalam pasal 1 dikatakan “bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”. Selanjutnya dalam pasal 4 kembali ditegaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.

Jika kita mencermati pasal 1 dan pasal 4 ini, maka dapat kita simpulkan bahwa materi muatan yang ada dalam P4, adalah merupakan Tonggak/kekuatan dari Implementasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Karena pedoman ini menjadi penuntun dan pegangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk perbedaan identitas yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) dilebur dan dibentuk menjadi satu pandangan dalam berbangsa/bermasyarakat dan bernegara.

Penyatuan pandangan/pegangan hidup inilah yang kemudian membentuk pola pikir “mindset” bangsa Indonesia menjadi satu, searah, dalam melihat, menilai segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, yaitu berdasarkan Pancasila. Sehingga terciptalah suatu bangsa yang kuat bersatu dalam perbedaan dan tidak mudah terpecah dengan upaya adu domba dengan menggunakan perbedaan dengan membenturkan nilai-nilai/akidah Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau yang populer disebut SARA.

Kemudian TAP MPR No. II Tahun 1978 ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama BP-7 Daerah.

Disinilah permasalahan yang timbul ketika pemerintah "Rezim Orde Baru" menindaklanjuti TAP MPR No. 2 Tahun 1978 Tentang P4 dengan metode pelaksanaannya melalui penataran yang dianggap oleh para kaum reformis merupakan upaya pendoktrinan dan menjadikan Pancasila sebagai alat untu melanggengkan kekuasaan Orde Baru pada saat itu.

Yang harus dibedakan adalah Pancasila yang merupakan jatidiri bangsa indonesia, yang menjadi dasar bangsa indonesia merdeka dan kemudian menjadi roh dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD 1945 yang secara penafsirannya ada dalam batang tubuh, sehingga dikatakan bahwa UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dari Pancasila karena merupakan tafsir secara rigid yang diturunkan dalam 37 Pasal yang ada dalam UUD 1945.

Pemahaman nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tidak bisa dibenturkan dengan nilai-nilai keagamaan, karena Pancasila merupakan suatu sifat bangsa Indonesia, yang menjadikan dasar Bangsa Indonesia Merdeka, yang dapat mempersatukan bangsa yang terdiri dari kelompok-kelompok (Agama, Adat, Budaya, golongan) yang berbeda-beda, dan cenderung lebih kepada komunal religius. Dan kelompok-kelompok atau pengkotakan-pengkotakan itu dapat dilebur dengan adanya suatu sifat yang dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut.

Karena itu, dalam lambang kenegaraan Garuda Pancasila diletakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram erat. Pemaknaan dari semboyan itu adalah tetap menghargai keragaman perbedaan Identitas yang ada (Agama, Suku, Adat, Budaya, Golongan) namun tetap satu ideologi, satu cara pandang, satu mindset dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang ada dalam PANCASILA.

Kesalahan yang dilakukan oleh Orde Baru, bukan berarti kemudian dapat dengan seenaknya merusak pemahaman yang telah dibangun untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini sudah terbangun dan saat ini sudah semakin berujung pada kehancuran.

Pernyataan yang disampaikan oleh Amien Rais menjadi sangat jelas terlihat bahwa ada agenda tersembunyi "hidden Agenda" yang ada didalamnya, karena ketika Pancasila dicabut dari kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang memiliki keberagaman perbedaan Identitas, maka sifat yang dapat mempersatukan perbedaan keaneka ragaman tersebut pun akan tercabut.

Dan faktanya saat ini, sesama Penyelenggara negara kerap berselisih/konflik,  Antar Lembaga Kenegaraan berselisih/konflik, antar lembaga kemasyarakatan pun konflik/berselisih. Masing-masing sudah berjalan sesuai kehendaknya masing-masing dan tercerai berai, sehingga cita-cita untuk mencapai kepada tujuan negara yang adil, makmur dan sejahtera tidak tercapai

Masihkah kita akan membiarkan upaya-upaya penghancuran terhadap bangsa dan negara ini terus berlangsung..????
Mari selamatkan bangsa dan negara ini dari upaya orang-orang yang memiliki agenda-agenda tersembunyi yang akan menghantarkan kepada kehancuran negara kita tercinta.

Salam Bhinneka..
NKRI & Merah Putih Harga Mati

Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)

Senin, 24 September 2012

REFLEKSI PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dalam Tap MPR No. 2 Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, dalam Pasal 4 dikatakan :
"Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap Penyelggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh"

Artinya TAP MPR No. 2 Tahun 1978 telah menjadikan Pancasila sebagai Pedoman yang berfungsi sebagai penuntun serta menyatukan pandangan hidup bagi setiap warganegara, penyelenggara negara, lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan.

Namun ketika Reformasi, Pedoman ini dicabut dengan TAP MPR No. 18 Tahun 1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. 2 Tahun 1978. dan secara otomatis Pedoman yang menjadikan Pancasila sebagai Pedoman bersama untuk menuntun serta menyatukan pandangan hidup telah tercabut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dan faktanya saat ini, sesama Penyelenggara negara kerap berselisih/konflik,  Antar Lembaga Kenegaraan berselisih/konflik, antar lembaga kemasyarakatan pun konflik/berselisih. Masing-masing sudah berjalan sesuai kehendaknya masing-masing dan tercerai berai.

Ironisnya, Pancasila saat ini hanya dijadikan komoditas oleh para elite yang hanya menjadikannya wacana/pepesan kosong tanpa adanya tindakan kongkrit untuk menjadikan Pancasila kembali menjadi Pedoman yang diformalkan dalam ketetapan yang dikeluarkan dari Lembaga Bangsa yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang pada tahun 1978 telah melahirkan sebuah Pedoman yang dapat menyatukan pandangan, pola pikir "mindset" yang dihasilkan dari suatu hasil musyawarah dalam sidang umumnya.

Salam,
VST

Sabtu, 15 September 2012

Menatap Ulang Peranan Serta Efektivitas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa)

Bangsa Indonesia yang berasal dari pulau-pulau yang berada di wilayah Indonesia telah melahirkan Bangsa Indonesia melalui “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga, Bangsa Indonesia, pada awal mulanya, terdiri dari berbagai suku-suku asli yang ada di wilayah Indonesia dengan adat istiadatnya yang berbeda-beda.

Melihat keberaneka-ragaman perbedaan yang ada didalam Bangsa Indonesia (Suku, Agama, Golongan) maka ketika para pendiri bangsa melanjutkan perjuangannya untuk membentuk sebuah negara, mereka bersepakat membuat rumusan yang dapat mempersatukan berbagaimacam perbedaan tersebut, sehingga terbentuklah suatu rumusan yang disepakati dalam sidang yang diselenggarakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada awalnya beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa).

Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6. Yang kemudian setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang berdasarkan pada Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan hasil kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia, menjadi suatu ideologi pemersatu ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang selain berbeda suku, dan golongan juga merupakan masyarakat komunal religius. Pancasila dapat diterima menjadi ideologi serta dasar Negara karena merupakan suatu rumusan yang digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.

Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno diselenggarakan indoktrinasi operasionalisasi Pancasila dengan menyiapkan bahan yang dikenal sebagai “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi.”. Namun permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan.

Bahkan pada masa pemerintahan saat itu, mendapat serangan ideologi yang berasal luar begitu kuat, tidak dapat dilawan hanya berharap pada suatu rumusan Pancasila saja, sehingga puncak dari serangan tersebut ialah oleh situasi kehidupan negara yang terjadi pada pertengahan tahun 1965. terjadinya tragedi nasional, G-30-S/PKI pada tahun 1965, yang kemudian oleh pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen serta perlu untuk membenahi karakter bangsa dengan mengembangkan sikap dan perilaku warga negara sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya yang berdasarkan Pancasila.

Sesungguhnyalah sejarah telah mengungkapkan, bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesiam yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, didalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Menyadari bahwa untuk kelestarian keampuhan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus-menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di Pusat maupun di Daerah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22 Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) melalui ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978. Dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia Seperti yang terdapat dalam Tap MPR pada konsideran menimbang, secara jelas ditekankan dalam huruf a “bahwa Pancasila yang merupakan pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia perlu dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan Nasional serta cita-cita Bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.

Kemudian huruf b menegaskan “bahwa demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan gerak langkah dalam hal menghayati serta mengamalkan Pancasila diperlukan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”. TAP MPR yang terdiri dari 6 (enam) pasal ini merupakan suatu kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI sebagai penjelmaan rakyat, yang berperan penting dalam menuntun dan menjadi Pandangan Hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat serta wajib ditindaklanjuti sebaik-baiknya oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Dalam pasal 1 dikatakan “bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”. Selanjutnya dalam pasal 4 kembali ditegaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.

Jika kita mencermati pasal 1 dan pasal 4 ini, maka dapat kita simpulkan bahwa materi muatan yang ada dalam P4, adalah merupakan Tonggak/kekuatan dari Implementasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Karena pedoman ini menjadi penuntun dan pegangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk perbedaan identitas yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) dilebur dan dibentuk menjadi satu pandangan dalam berbangsa/bermasyarakat dan bernegara.

Penyatuan pandangan/pegangan hidup inilah yang kemudian membentuk pola pikir “mindset” bangsa Indonesia menjadi satu, searah, dalam melihat, menilai segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, yaitu berdasarkan Pancasila. Sehingga terciptalah suatu bangsa yang kuat bersatu dalam perbedaan dan tidak mudah terpecah dengan upaya adu domba dengan menggunakan perbedaan dengan membenturkan nilai-nilai/akidah Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau yang populer disebut SARA.

Kemudian TAP MPR No. II Tahun 1978 ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama BP-7 Daerah.

Untuk keperluan penyelenggaraan penataran P-4 bagi masyarakat dikembangkan pola-pola penataran sebagai berikut :
  1. Pola 120 jam, yang dikemudian hari berkembang manjadi pola 144 jam, bagi calon penatar yang akan bertugas di BP-7 daerah tingkat I maupun tingkat II, dan bagi tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan organisasi;
  2. Pola 45 jam, bagi kader-kader organisasi kemasyarakatan;
  3. Pola 25 jam dan pola 17 jam bagi masyarakat pada umumnya; di kemudian hari pola 17 jam dihapus karena dipandang kurang efektif.
  4. Memasuki tahun 1990-an dikembangkan pula pola penataran P-4 yang disesuaikan dengan profesi target audience, yang disebut pola terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan muatan penataran P-4 dengan berbagai lapangan kerja.
  5. Dengan beberapa modifikasi penataran P-4 pola 120 jam dikembangkan menjadi pola penataran bagi para mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi menjadi penataran P-4 pola 100 jam, pola 45 jam bagi murid klas 1 SLTA, dan pola 25 jam untuk murid klas 1 SLTP. Penataran pola 120/144 jam menjadi kewenangan BP-7 Pusat, sedang pola yang lain menjadi kewenangan BP-7 Daerah, dan lembaga-lembaga pendidikan.

Di samping metoda penataran dikembangkan juga pemasyarakatan P-4 dengan menggunakan modul, metoda simulasi dan cerdas tangkas P-4 yang diselenggarakan baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Muatan P-4 yang terdiri dari Pancasila/P-4, UUD 1945 dan GBHN dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Untuk Sekolah Dasar dan Menengah bahan ajar tersebut diberi nama Pendidikan Moral Pancasila yang kemudian diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sedang di Perguruan Tinggi menjadi Pendidikan Pancasila.

Ketentuan ini dikokohkan dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989. Apabila kita cermati bahwa penataran P-4 lebih dititik beratkan pada pembinaan moral bangsa yang esensinya adalah pengendalian diri. Seorang warganegara diharapkan mampu mengendalikan diri dalam segala aspek kehidupan, diperlukan toleransi yang tinggi, dan tidak mementingkan diri sendiri. Hanya dengan jalan ini maka kebersamaan akan terwujud dalam masyarakat yang pluralistik.

Namun kemudian ketika reformasi bergulir, desakan agenda reformasi yang salah satunya menganggap bahwa P4 melalui sarana pelaksananya yaitu BP7 menjadi alat politik yang dimainkan oleh Orde Baru untuk dapat mempertahankan kekuasaannya selama 32tahun. Keadaan tersebut memicu timbulnya kelompok-kelompok yang pesimis dan bahkan timbul sinisme terhadap usaha menjadikan Pancasila sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok tersebut sebenarnya mempunyai maksud terselubung, menginginkan dasar negara yang lain bagi bangsa Indonesia, yang bersifat sektarian murni ataupun sebaliknya yang bersifat murni nonsektarian tertentu. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini tampaknya terjebak oleh pemikiran sesaat yang sempit atau bahkan oleh dorongan perasaan irasional-emosional, sehingga mengingkari kenyataan yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yakni sebagai masyarakat majemuk, multikultural dan heterogenitas bangsa yang sangat pluralistik. Salah satu upayanya ialah dengan mendesak pencabutan P4 yang kemudian dikuti dengan pembubaran BP7.

Desakan tersebut diakomodir oleh MPR dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVIII Tahun 1998 tentang pencabutan TAP MPR No. II Tahun 1978 tentang P4 yang dalam konsideran menimbang pada huruf a dikatakan “bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditegaskan posisi dan peranannya dalam kehidupan bernegara”.

Jika kita mencermati maksud dari perlunya menegaskan posisi dan perana Pancasila dalam kehidupan bernegara pasca reformasi. Maka penegasan yang dimaksud, terhadap posisi Pancasila bahkan semakin tidak jelas peranannya dalam implementasinya.

Terbukti dengan tercabutnya penuntun serta pegangan hidup yang kemudian menjadi cara pandang yang satu, dengan jerih payah membangun, membentuk penyatuan pola pikir “mindset” untuk memiliki cara pandang yang satu dalam melihat segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, mengakibatkan bangsa Indonesia yang merupakan pondasi Bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi terpecah-belah, sehingga secara fakta pasca reformasi maraknya konflik horizontal yang merupakan konflik Suku, konflik Agama, Ras dan konflik Antar Golongan (SARA).

Kemudian pada konsideran menimbang, huruf b dikatakan “bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, perlu dicabut”.

Melihat pertimbangan MPR yang dituangkan dalam huruf b, dengan mengatakan bahwa P4 tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara dinilai sangat sempit dalam memahami materi muatan yang ada dalam TAP MPR tersebut. Karena jika dipahami secara mendalam, materi muatan yang ada dalam TAP MPR No. II Tahun 1978 tersebut bersifat universal dan merupakan pengontrol bangsa Indonesia dalam menjalani perkembangan kehidupan bernegara, sehingga tidak terjadi perkembangan kehidupan yang kebablasan dan tidak mengindahkan nilai-nilai atau acuan yang ada dalam Naskah P4 tersebut. Fakta yang terjadi, perkembangan kehidupan bernegara saat ini sudah sangat keluar dari apa yang diinginkan dalam P4, sebagaimana berfungsi layaknya saringan yang menyaring segala bentuk pola pikir, budaya, karakter yang bukan berasal dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Jika kita melihat kondisi saat ini, masuknya budaya luar atau yang dikenal dengan istilah popular culture, ideologi yang bukan berasal dari nilai-nilai bangsa Indonesia, semakin kuatnya radikalisme, sehingga memunculkan gerakan-gerakan yang semakin mempercepat NKRI masuk kepada babak perpecahan “disintegrasi”.

Terakhir, dengan tidak adanya penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan seperti yang ditegaskan dalam pasal 4 TAP MPR No. 2 Tahun 1978, yang terjadi adalah sesame penyelenggara Negara konflik, sesama lembaga kenegaraan konflik, sesame lembaga kemasyarakat konflik. Semua itu dikarenakan hilangnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang menjadi penuntun dan pegangan hidup yang mempersatukan cara pandang/pola piker “mindset masyarakat Indonesia dalam melihat, menilai segala sesuatu permasalahan.

Penulis Victor Santoso Tandiasa

Sumber :
www.wikipedia.org
TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPT No.II/MPR/1978
Keputusan Presiden No.10 tahun 1979 tentang pendirian BP7
Keputusan Presiden No. 85 tahun 1999 tentang Pembubaran BP7

Minggu, 08 Januari 2012

Kronologis Kasus Lambang Negara Garuda Pancasila

Seperti yang kita ketahui dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, Pasal 57 huruf c dan d melarang penggunaan Lambang Negara Garuda Pancasila, dan ini adalah kronologis kasus yang menimpa Eko Santoso dan Erwin Agustian yang harus menjalani proses PIDANA ketika mereka menggunakan lambang Garuda Pancasila dalam Stampel Pembentukan Komisi Pemilihan Umum PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring System, dengan semangat Nasionalisme dan kecintaannya pada Pancasila :

Bahwa pada tanggal 3 Oktober 2010 dilakukan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring Systems di Balai RW Perum Mulya Mekar – Purwakarta. Bahwa pada pertemuan tersebut memilih Sdr. Eko Santoso sebagai Ketua, Sdr. Erwin Agustian sebagai Wakil Ketua dan 14 orang Anggota yang lain.

Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2010 dikeluarkan Surat Keputusan ( SK ) Pengurus Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring Systems oleh PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring Systems.

Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2010 Sdr. Erwin Agustian atas ide bersama Sdr. Eko Santoso membuat Stample KPU dengan bentuk lingkaran merah bertuliskan Komisi Pemilihan Umum SPAMK FSPMI dan Gambar Garuda menoleh ke sebelah kanan lengkap dengan perisai dan kedua kaki menggenggam pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika di bagian tengahnya.

Bahwa alasan Sdr. Erwin Agustian dan Eko Santoso membuat stample dengan bentuk tersebut di atas adalah karena rasa Nasionalisme serta bangga terhadap lambang Negara sebagai warga Negara Indonesia. Selain itu Sdr. Erwin Agustian dan Eko Santoso berpikir bahwa hanya Pancasila yang tertera di Perisai Garuda sebagai Lambang Negara itulah yang sesuai menjadii dasar atau falsapah kegiatan pemilihan tersebut.

Bahwa stample tersebut hanya digunakan pada tanggal 22 s/d 30 November 2010 untuk Surat Izin Pelaksanaan kegiatan pemilihan Ketua PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring Systems yang ditunjukan ke Management PT. Sumi Indo Wiring Systems, Segel kotak suara, serta poster-poster berupa kampanye calon Ketua dan tata cara pemilihan yang di pasang di madding Plant 1, Plant 2 dan Plant 3 PT. Sumi Indo Wiring Systems. Bahwa pada tanggal 22 November 2010 Surat Izin Pelaksanaan kegiatan pemilihan Ketua PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring Systems dilayangkan ke Management PT. Sumi Indo Wiring Systems.

Bahwa pada tanggal 24 November 2010 Management PT. Sumi Indo Wiring Systems menjawab surat izin dari PUK SPAMK FSPMI PT. Sumi Indo Wiring Systems tersebut yang isinya mengizinkan kegiatan tersebut.

Bahwa dari tanggal 25 S/d 28 November 2010 Poster-poster Kampanye Calon Ketua dan Tata cara pemilihan di temple di madding Plant 1, Plant 2 dan Plant 3 PT. Sumi Indo Wiring Systems.

Bahwa pada tanggal 29 November 2010 dilaksanakan pemungutan suara yang dilakukan pada saat anggota memasuki area perusahaan dan anggota pulang kerja di Pos Security. Bahwa pada tanggal 30 November 2010 dilakukan penghitungan suara yang dilakukan di kantin Plant 1 PT. Sumi Indo Wiring Systems jam 16.30 s/d 17.30 WIB, yang dihadiri oleh Anggota KPU, Ibu Indah Yuliana ( perwakilan Management ), Bp. Budiono ( Kepala Security ) dan perwakilan dari KAPOSPOL Bukit Indah.

Bahwa tanpa sepengetahuan kami, pada tanggal 29 November 2010 Sdr Irham Bin Muhyi Efendi ( Sekretaris PUK SP-Lem FSPSI PT. Sumi Indo Wiring Systems ) melaporkan penggunaan Lambang Negara pada Stample KPU Ke Polres Kab. Purwakarta karena dianggap telah melanggar UU No. 24 tahun 2009 tentang penggunaan Lambang Negara.

Bahwa pada tanggal 9 Desember 2010 Sdr. Ade Supyani sebagai ketua sementara dan Sdri. Mimin Mintarsih sebagai sekertaris PUK SPAMK FSPMI PT. SUMI INDO WIRING SYSTEMS dipanggil ke Sat Reskrim Purwakarta ( Ruang Unit II ) untuk dimintai keterangan sebgai saksi dalam perkara tindak pidana setiap orang yang membuat lambing untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan,organisasi dan / atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang Negara sebagaimana dalam pasal 69 huruf b UU RI No.24 Tahun 2009 tentang bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang dilakukan dengan memasang cap stempel yang berlambang burung Garuda di surat permohonan izin pelaksanaan pemilihan Ketua PUK FSPMI PT.SIWS yang berkop surat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT.SIWS.

Bahwa pada tanggal 21 Desember 2010 Sdr. Eko santoso Sebagai ketua KPU dipanggil ke Sat Reskrim Purwakarta ( Rung Unit II ) untuk dimintai keterangan sebgai saksi dalam kasus yang sama.

Bahwa pada Tanggal 08 Januari 2011 Sdr. Erwin Agustian Sebagai Wakil Ketua KPU dipanggil ke Sat Reskrim Purwakarta ( Rung Unit II ) untuk dimintai keterangan sebgai saksi dalam kasus yang sama.

Bahwa Pada Tanggal 23 Januari 2011 Sdr Ade Supyani dihubungi oleh Bripda Arif Murba. SH sebagai penyidik Sat Reskrin Unit II Polres Purwakarta untuk menghadap beliau. Bahwa pada jam 17.30 Sdr. Ade Supyani dan Sdr Erwin Agustian menghadap Bripda Arif Murba di Sat Reskrim Purwakarta.

Bahwa pada pertemuan tersebut Sdr Arif Murba SH memberikan surat panggilan atas nama Erwin Agustian dan Eko Santoso untuk menghadap kepada Ipda Mas’ud Sulaiman di kantor Sat Reskrim Polres Purwakarta jalan Veteran No.408 Purwakarta 41118, pada hari jum’at tanggal 28 Januari 2011 pukul 09.00 wib di Ruang unit II ( Ekonomi ) Sat Reskrim Polres Purwakarta untuk dimintai keterangan sebagai Tersangka dalam perkara tindak pidana setiap orang yang membuat lambang untuk prseorangan, partai politik ,perkumpulan,organisasi dan / atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negaradan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang – Undang ini.Sebagaimana dalam pasal 69 huruf b dan C UU RI No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang dilakukan dengan cara memasang cap stempel yang berlambang burung Garuda di surat permohonan izin pelaksanaan Pemilihan Ketua PUK FSPMI PT.SIWS yang berkop surat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT.SIWS.

Bahwa Sdr. Eko Santoso dan Sdr. Erwin Agustian telah memenuhi panggilan dan memberikan keterangan apa adanya.

Bahwa kedua tersangka telah melakukankan wajib lapor selama sebulan, selanjutnya pada awal bulan 09 Mei 2011 Sdr. Arip Murba, SH ( Reskrim Polres Kab. Purwakarta ) memanggil Sdr. Ade Supyani. Bahwa pada pertemuan tersebut Sdr. Arip Murba, SH ( Reskrim Polres Kab. Purwakarta ) Memberitahukan bahwa berkas perkara kasus ini telah dilimpahkan ke kejaksaan Kab. Purwakarta (P21).

Bahwa pada tanggal 16 Mei 2011 ± 3000 masa yang tergabung dalam serikat pekerja FSPMI Kab. Purwakarta mengadakan Aksi solidaritas ke Kejaksaan Negeri Purwakarta menuntut agar proses hukum kedua tersangka dihentikan. Bahwa setelah Aksi tersebut Kejaksaan Negeri Purwakarta tidak bergeming dan tetap melanjutkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Purwakarta.

Bahwa Pada Tanggal 23 Juni 2011 Briptu Arip Murba, SH ( Reskrim Polres Kab. Purwakarta ) menghubungi kedua tersangka untuk mengambil surat yang dititipkan jaksa Toni Purnama, SH. Isi surat tersebut adalah panggilan untuk sidang di Pengadilan Negeri Purwakarta pada tanggal 27 Juni 2011.

Bahwa pada tanggal 24 Juni 2011 kedua tersangka diserahkan oleh Briptu Arip Murba, SH ( Reskrim Polres Kab. Purwakarta ) ke kejaksaan Negeri Purwakarta. Bahwa setelah diserahkan, kedua terdakwa langsung diperiksa olek JPU Toni Purnomo, SH. Bahwa pada pemeriksaan tersebut kedua terdakwa memberikan keterangan apa adanya dan sebenar-benarnya.

Bahwa pada Tanggal 27 Juni 2011 digelar siding pertama di Pengadilan Negeri Purwakarta dengan agenda pembacaan dakwaan. Bahwa untuk melakukan pendampingan dan pembelaan kedua tersangka FSPMI Kab. Purwakarta meminta bantuan ke LBH UNSIKA Karawang yaitu Bp. Imam BS, SH, MH.

Bahwa pada tanggal 04 Juli 2011 sidang ke dua kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta dengan agenda keterangan saksi. Yang menjadi saksi yaitu Sdr. Ade Supyani (FSPMI), Sdri. Mimin Mintarsih (FSPMI), Sdr.Dian Setiawan (FSPMI) Sdri. Indah Yuliana ( Mgr. HRD PT. SIWS ) dan Sdr. Irham Bin Muhyi Efendi ( Pelapor dari SPSI ).

Bahwa pada tanggal 11 Juli 2011 sidang ketiga kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta dengan agenda kesaksian dari saksi ahli yang di datangkan oleh Jaksa penuntut Umum yaitu Dr Saipul Bahri. Bahwa pada sidang tersebut saksi ahli tidak bisa datang, maka sidang ditunda dan akan kembali digelar pada tanggal 18 Juli 2011 dengan agenda yang sama.

Bahwa pada tanggal 14 Juli 2011 Sdr. Erwin Agustian dan Eko Santoso didampingi perangkat Organisasi dari KC/PC FSPMI Kab. Purwakarta mengadu ke KOMNASHAM di Jakarta. Keduanya mengadukan kasus ini karena merasa diperlakukan tidak adil, bahwa sebenarnya banyak yang menggunakan lambang Negara ini tetapi kenapa hanya mereka berdua yang diproses dan kasusnya tetap berlanjut ke pengadilan. Bagaimana dengan kasus Gugatan David Tobing dan jutaan orang yang menggunakan Lambang Negara ini..?

Bahwa di KOMNASHAM kedua tersangka diterima oleh salah satu staf KOMNASHAM yang bernama Bakti. Bahwa setelahpengaduan diterima, dari KOMNASHAM menyarankan kepada kedua tersangka untuk membuat surat pemohonan untuk diberikan Saksi Ahli dari KOMNASHAM. Bahwa saat itu juga kedua tersangka langsung membuat pemohonan tersebut. Bahwa kedua tersangka telah beberapa kali menghubungi menghubungi pihak KOMNASHAM, akan tetapi sampai saat ini belum ada kepastian dari Pihak KOMNASHAM tentang Saksi Ahli tersebut.

Bahwa Kedua terdakwa berharap bisa mengajukan untuk menghadirkan saksi ahli yang bisa membantu membebaskan kedua terdakwa dari segala tuntutan.

Bahwa pada tanggal 18 Juli 2011 sidang keempat kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta dengan agenda kesaksian dari saksi ahli yang di datangkan oleh Jaksa penuntut Umum yaitu Dr Saipul Bahri. Bahwa pada sidang tersebut saksi ahli tidak bisa datang, maka sidang kembali ditunda dan akan kembali digelar pada tanggal 25 Juli 2011 dengan agenda yang sama.

Bahwa tanggal 25 Juli 2011 sidang ke lima kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta. Bahwa pada sidang tersebut hakim meminta keterangan saksi ahli yang didatangkan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu Dr Sepul Bahri dari Universitas Muhamadiyah Jogjakarta dan Universitas Bhayangkara. Bahwa dalam kesaksiannya Dr Saepul Bahri menyatakan perbuatan kedua terdakwa telah melanggar Undang-Undand dan menyatakan bahwa pembuat stample tidak bisa dinyatakan bersalah. Kuasa hukum kedua tersangka meminta kepada hakim untuk sidang berikutnya pihak terdakwa akan mendatangkan saksi ahli. Sidangberikutnya diagendakan tanggal 02 Agustus 2011.

Bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 kedua terdakwa didampingi oleh Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta menemui David Tobing untuk berkonsultasi masalah hukun terkait kasus Garuda. Bahwa pada pertemuan tersebut Bp. David Tobing banyak memberikan pandangan hukum terkait kasus Garuda dan beliau memberikan foto copy berkas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai gugatan penggunaan Lambang Garuda di kaos Team Nasional PSSI.

Bahwa pada tanggal 02 Agustus 2011 sidang ke enam kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta dengan agenda kesaksian dari saksi ahli dari pihak terdakwa. Bahwa pada sidang tersebut Jaksa Penuntut Umum tidak hadir dikarenakan sakit, maka sidang kembali ditunda dan diagendakan kembali pada tanggal09 Agustus 2011.

Bahwa pada tanggal 03 Agustus 2011 kedua terdakwa ditemani Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta bersama kuasa hukum kedua terdakwa menemui Dr Asvi Marwan di LIPI Jakarta untuk membicarakan permohonan menjadi saksi ahli pada sidang tanggal 09 Agustus 2011. Hasil pertemuan tersebut Dr Asvi Marwan bersedia memberikan keterengan sebagai saksi ahli pada sidang tanggal 09 Agustus 2011.

Bahwa pada tanggal 09 Agustus 2011 sidang ke tujuh kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli Dr Asvi Marwan. Bahwa pada sidang tersebut Dr Asvi Marwan menerangkan selama penggunaan lambang Garuda tidak bermaksud untuk melecehkan, merendahkan dan menghina lambang Negara tidak menjadi masalah. Sidang berikutnya akan kembali digelar tanggal 15 Agustus 2011.

Bahwa pada tanggal 15 Agustus 2011 sidang ke delapan kembali digelar dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Bahwa pada kesempatn itu kedua terdakwa memberikan keterangan apa adanyaBahwa pada waktu yang sama gabungan buruh yang tergabung dalam FSPMI melakukan aksi solidaritas di PN purwakarta tempat sidang kasus garuda digelar dengan tuntutan bebaskan eko dan Erwin dari segala tuntutan. Bahwa pada kesempatan itu pula perwakilan dari FSPMI yaitu Fuad (Keua KC FSPMI Kab. Purwakarta), Ade Supyani ( Ketua PC SPAMK FSPMI Kab. Purwakarta), Rustan dan Prihantoro P (Ketum dan Pengurus PP SPAMK FSPMI) diterima oleh humas PN Purwakarta. Perwakilan FSPMI menyampaikan kepada Humas PN Purwakarta Bahwa yang diprosesnya Eko dan Erwin merupakan ketidak adilan karena dari jutaan masyarakat yang menggunakan lambang garuda di Indonesia, hanya mereka berdua yang diproses sampai ke pengadilan. Perwakilan FSPMI juga meminta agar PN purwakarta membebaskan atau hukuman yang seringan-ringannya kepada Eko dan Erwin. Bagian humas PN berjanji akan menyampaikan aspirasi dari FSPMI ke Ketua Pengadilan tapi beliau tidak bisa melakukan interperensi kepada majelis hakim. Bahwa FSPMI berharap sidang berikutnya dapat ditunda sampai setelah libur lebaran.

Bahwa harapan FSPMI agar sidang berikutnya ditunda sampai selesai libur lebaran ternyata tidak terkabulkan, Majelis hakim mengagendakan sidang berikutnya tanggal 25 Agustus 2011. Maka pada tanggal 18 Agustus FSPMI Purwakarta mengirim surat pemberitahuan aksi ke Polres purwakarta.

Bahwa pada tanggal 18 agustus KC FSPMI Purwakarta bersama Eko S dan Erwin melakukan usaha lain yaitu datang ke DPRRI Komisi 3 dan Komisi 9 untuk berkonsultasi hukum dan meminta perlindungan hukum terkait kasus Garuda yang sedang di proses di PN Purwakarta.

Bahwa pada tanggal 24 Agustus 2011 Kapolres Purwakarta memanggil Perangkat FSPMI di Pos Polisi Gerbang Tol Cikopo. Bahwa pada pertemuan tersebut Kapolres meminta agar FSPMI dapat menunda acara aksi ke PN purwakarta tanggall 25 Agustus 2011, Kapolres Pwk minta pengertiannya kepada FSPMI sehubungan dengan Proses arus mudik lebaran sudah mulai padat dan semua personil kepolisian ditugaskan untuk mengatur arus mudik tersebut. Bahwa Kapolres Purwakarta akan membantu memfasilitasi FSPMI untuk bertemu dengan Ketua PN Purwakarta guna membicarakan atau meminta keringanan jika mungkin perihal kasus Garuda tersebut setelah libur hari raya Idul Fitri. Bahwa FSPMI sepakat untuk menunda aksi tanggal 25 Agustus 2011.

Bahwa pada tanggal 25 Agustus 2011 Terdakwa tidak bisa hadir dikarenakan sakit sehingga agenda sidang ditunda dan jijadwalkan kembali pada tanggal 6 September 2011 dedngan agenda Pembacaan tuntutan dari Jaksa penuntut umum.

Bahwa pada tanggal 06 September 2011 sidang berikutnya digelar dengan agenda pembacaan tuntutan. Bahwa pada sidang tersebut Jaksa penuntut umum menuntut Sdr. Erwin dan Eko S dengan tuntutan 3 bulan penjara dan 6 bulan hukuman percobaan dengan catatan hukuman itu tidak perlu dijalankan.

Bahwa pada agenda sidang berikutnya tanggal 13 September 2011 Jaksa penuntut umum tidak hadir dilkarenakan sakit sehingga sidang di tunda dan diagendakan kembali pada tanggal 19 September 2011.

Bahwa pada tanggal 19 september 2011 sidang berikutnya dengan agenda pembelaan dari Kuasa hukum terdakwa. Bahwa Kuasa hukum terdakwa mengatakan bahwa tidak seharusnya kedua terdakwa dituntut denga 3 bulan kurungan dan 6 bulan hukuman percobaan karena yang menggunakan lambang Garuda bukan hanya Eko dan Erwin. Sidang berikutnya dijadwalkan tanggal 22 September 2011 dengan agenda jawaban pembelaan terdakwa oleh Jaksa Penuntut umum.

Bahwa pada tanggal 20 September 2011 FSPMI mengajukan surat pemberitahuan aksi ke Kapolres untuk tanggal 22 September 2011 dengan tuntutan Eko dan Erwin dibebaskan tanpa Syarat. Hal ini dilakukan karena FSPMI belum ada jaminan dari pihak pengadilan untuk membebaskan kedua terdakwa atau sekurang-kurangnya di berikan hukuman yang seringan-ringannya dengan belum adanya pertemuan antara FSPMI dengan Ketua PN Purwakarta seperti yang dijanjikan Kapolres purwakarta serta belum ada jaminan dari perusahaan untuk tidak melakukan PHK terhadap kedua terdakwa jika tetap keduanya di putus bersalah oleh majelis Hakim PN Purwakarta.

Bahwa pada tanggal 21 September 2011 Polres Purwakarta melalui Kasat Intel Polres Purwakarta mengundang kembali Perangkat FSPMI untuk mendiskusikan perihal rencana Aksi tanggal 22 September 2011. Bahwa pada pertemuan tersebut kast intel meminta agar aksi tersebut ditunda dikarenakan kondisi purwakarta yang sedang tidak kondusif pasca kerusuhan / perubuhan patung dan kasat intel telah mendapat jaminan dari management PT.SIWS dan beliau menyarankan ketua PUK SPAMK FSPMI PT SIWS untuk menghadap ke Bp Budi Eko Prasetiyo selaku direktur PT. SIWS. Bahwa akhirnya FSPMI menyutujui untuk menunda kembali aksi ke PN Purwakarta.

Bahwa pada tanggal 22 September 2011 Didin Hendrawan (Ketua PUK SPAMK FSPMI PT. SIWS) dan Ade Supyani ( Ketua PC SPAMK FSPMI Kab. Purwakarta ) menemui Bp Budi Eko Prasetiyo. Pada pertemuan tersebut Bp. Budi Eko Prasetio mengatakan langsung kepada Didin Hendrawan dan Ade Supyani bahwa beliau menjami tidak akan melakukan PHK kepada Erwin dan Eko.

Bahwa pada tanggal 22 September 2011 Sidang kembali ditunda dikarenakan Hakim tidak bisa hadir dikarenakan ada acara konfrensi hakim perempuan di Jakarta. Sidang kembali dijadwalkan pada tanggal 26 September 2011.

Bahwa tanggal 26 September 2011 sidang berikutnya digelar dengan agenda pembacaan jawaban Jaksa Penuntut Umum atas pembelaan Kuasa Hukum terdakwa. Bahwa jawaban Jaksa penuntut Umum pada intinya menolak semua pembelaan dari Kuasa Hukum terdakwa. Agenda sidang berikutnya dijadwalkan kembali pada tanggal 03 Oktober 2011.

Bahwa pada tanggal 03 Oktober 2011 sidang terakhir yaitu sidang putusan digelar. Pada sidang tersebut majelis hakim berdasarkan fakta persidangan, bukti- bukti dan kesaksian dari saksi-saksi memutuskan bahwa kedua terdakwa dinyatakan bersalah. Atas pertimbangan kedua terdakwa tersebut punya keluarga yang masih perlu beri nafkah serta. Serta usianya masih muda dan jiwa nasionalisnya masih dapat dipergunakan untuk kemajuan perusahaan, masyarakat, bangsa dan Negara maka untuk memberikan efek jera kedua terdakwa diberi hukuman 1 bulan penjara dan 3 bulan hukuman percobaan, tetapi hukuman tersebut tidak perlu dijalankan yang penting kedua terdakwa tidak melakukan tindak pidana apapun selama 3 bulan. Bahwa kedua belah pihak yaitu Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa tidak langsung menerima oleh karenanya Majelis Hakim memberikan waktu kepada kedua belah pihak untuk berfikir selama 7 hari kerja.

Bahwa sampai hari ke tujuh Kedua terdakwa tidak memberikan jawaban, maka dengan demikian kedua terdakwa dianggap menerima putusan majelis hakim. Bahwa pada tanggal 11 Otober 2011 Sdr. Erwin Agustian menemui jaksa penuntut umum. Bahwa pada pertemuan tersebut Jaksa Penuntut Umum menyatakan menerima putusan Majelis hakim dan beliau telah menandatangani putusan tersebut.

BEBASKAN GARUDA PANCASILA DARI SANGKARNYA..!!!


CABUT PASAL 57 POIN C DAN D, UU NO. 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN.

Masih teringat di benak kita, ketika Pengacara publik David Tobing mengajukan gugatan terkait pemakaian lambang burung garuda di kaos tim nasional sepakbola Indonesia. Gugatan lewat surat bernomor 551/2010/PN.JKT.PST tertanggal 14 Desember 2010, dimasukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa 14 Desember 2010 siang.

Menurut David, ketentuan dalam Undang-undang itu secara limitatif menentukan dapat digunakan untuk apa saja lambang negara Garuda. "Setiap orang dilarang menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam UU ini" menurut David, pemakaian lambang Garuda sebagai kostum bola jelas melanggar Pasal 57 Huruf d, UU Nomer 24 Tahun 2009".

Menanggapi tindakan yang dilakukan oleh David, dikutip dari beberapa wawancaranya dalam media Sekretaris Jenderal PSSI Nugarah Besoes, menyebut kalau tuntutan itu tak perlu dikomentari. "Ah itu tidak usah dikomentari. Sekarang anak-anak lagi perang senjatanya justru dilucuti. Lambang Garuda itu sudah ada sejak tahun 2007. Kenapa baru sekarang dibahas?" seru Nugraha di depan wartawan, Rabu (15/12/2010) siang WIB.

Demikianlah salah satu contoh polemik yang terjadi, terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, pasal 57 poin c dan d tentang pelarangan penggunaan lambang negara Garuda Pancasila.

Filosofi pelarangan terhadap penggunaan Lambang Negara tersebut dilandasi berbagai macam pendapat yang berujung pada satu kesimpulan, yaitu penghormatan setinggi-tingginya terhadap Lambang Negara, dan agar tidak terjadi penghinaan terhadap Lambang Negara tersebut sehingga lambang Garuda Pancasila telah di Sakralkan.

Namun saat ini Pancasila sudah terbenam seiring dengan perkembangan zaman. Popular Culture (trend sesaat) yang dimasukan oleh barat menjadi penyebab utama hilangnya nilai-nilai pancasila yang ada dalam benak setiap pemuda sebagai generasi penerus bangsa.

Pancasila yang awalnya telah mengakar secara perlahan-lahan mulai tercabut dan kemudian layu dan mati, seiring dengan masifnya invasi budaya-budaya barat yang mulai dijadikan gaya hidup masyarakat khususnya kaum muda Indonesia. Pancasila sudah dianggap suatu hal yang kuno, konservatif, kaku, tidak gaul dan statis.

Pola pikir ini sengaja dibuat oleh kelompok-kelompok barat agar dapat menyingkirkan kehadiran Pancasila dari setiap insan kaum muda Indonesia, sehingga dengan mudah mereka menguasai dan menancapkan bibit-bibit Kapitalisme.

Kaum muda saat ini sudah mulai terasuki oleh gaya hidup yang berkiblat pada budaya barat (hedonis, diskotek, dugem) sudah menjadi pilihan gaya hidup mayoritas kalangan pemuda diperkotaan, bahkan sudah mulai merangsank ke pedesaan. Bahkan jika tidak mengikuti gaya hidup tersebut akan dikatakan ”gak gaul” kampungan, ndeso, dan lain sebagainya.

Tanpa disadari, mereka telah terjerat masuk dalam perangkap Budaya Barat ”Westernisasi” yang membawa pada kehancuran moral dan ideologi dirinya sendiri. Perangkap yang akan membunuh moral generasi muda Indonesia itu dirancang sehalus mungkin agar mudah menarik masuk dalam perangkap yang akan menghantarkan pada kehancuran moral bangsa Indonesia.

Harus diakui semua itu disebabkan karena metode penanaman nilai-nilai Pancasila yang terlalu kaku, konservatif dan pasif hingga dengan mudah tergilas seiring dengan perkembangan jaman. Karena itu, harus ada terobosan baru agar pancasila bisa kembali diterima, tertanam dan berakar khususnya dalam diri kaum muda. Maka mau tidak mau, suka tidak suka modernisasi metode penanaman nilai-nilai Pancasila harus segera dilakukan.

Sehingga sudah seharusnya terjadi perubahan metode dalam proses pengenalan Pancasila dan penanaman nilai-nilainya dalam setiap insan khususnya pemuda-pemudi Indonesia. Perubahan metode dengan memodernisasikan metode-metode yang konvensional dan konservatif menjadi progresif, gaul, tidak kaku, sehingga Pancasila benar-benar dapat melekat pada setiap pribadi Bangsa Indonesia.

Namun tentunya metode tersebut tidak akan bisa berjalan, karena Dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2009 tentang BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN, pada Bagian ketiga, tentang Larangan pasal 57 poin c dan d yang berbunyi:

Setiap orang dilarang : c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Dengan diberlakukannya UU No. 24 Tahun 2009 ini justru membuat Pancasila menjadi Sakral, kaku dan semakin jauh dari. Dapat di ibaratkan Garuda Pancasila adalah raga dan Pancasila adalah Rohnya, Saat ini Masyarakat hanya dapat merasakan kehadilan Pancasila namun tidak dapat memiliki raganya karena dibelenggu oleh Undang-Undang.

Secara psikologis, masyarakat biasa menggunakan simbol/lambang negara seperti Garuda Pancasila atau Merah Putih sebagai perwujudan kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap Tanah Air, karena simbol/lambang negara merupakan wujud grafis dari suatu negara, karena pada umumnya seseorang baru berkeinginan untuk memahami atau mengetahi sesuatu jika sudah melihat terlebih dahulu wujud grafisnya.

Memang sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui Pancasila, namun hanya sebatas mengetahui tanpa memahami apa itu Pancasila secara mendalam, bahkan tidak sedikit masyarakat yang tau Pancasila namun tidak tahu isi sila-silanya.

Masih terdapat banyak kendala atau hambatan dalam penerapan nilai-nilainya. Jika lambang / simbol negara dijauhkan atau bahkan dilarang untuk digunakan oleh masyarakat luas, jangan heran jika nilai-nilai Pancasila terdengar asing dibenak setiap masyarakat Indonesia.

Maka dengan ini kami Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) bersama Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) membuat gerakan ”BEBASKAN GARUDA PANCASILA DARI SANGKARNYA” dengan memperjuangkan agar Pasal 57 poin c dan d, Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, yang melarang penggunaan Lambang Negara Garuda Pancasila di CABUT..!!

Senin, 03 Oktober 2011

Kegelisahan V.S.T - (Negara Hukum"an" dalam Penjara)

Ketika saya membaca sebuah buku yang berjudul "Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi" yang diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Buku tersebut diberikan oleh Dosen saya di FH UGM (Magister Hukum) Bp. Fajrul Falakh, yang merupakan kumpulan-kumpulan gagasan yang disatukan menjadi satu buku untuk rekomendasi Amandemen UUD 1945.Dari sekian banyak gagasan, ada satu topik yang menjadi kegelisahan saya. yaitu Membentuk Negara Hukum (an) dalam Penjara yang dikemukakan oleh Bp. Sidik Sunaryo (Dekan Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang).

Beliau mengatakan :
Sebenarnya ada cara ada cara yang mudah dan efisien untuk membentuk "Negara" baru. Tidak perlu menyelenggarakan Pemilu, dengan biaya yang sangat besar, tidak perlu membuat hukum yang sulit dan mahal, tidak perlu membangun sistem birokrasi yang rumit dan mahal, tetapi cukup dilakukan kesepakatan warganya, dan jadilah "Negara Baru" yang dibentuk dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagaimana caranya? sangat mudah, yakni mulai dari dalam penjara.

Di dalam penjara :

1. Ada banyak anggota Dewan, yang langsung dapat diangkat menjadi Ketua DPR, MPR dan DPD.
2. Ada Menteri, sehingga bisa langsung diangkat menjadi Presiden.
3. Ada para Gubernur, Bupati dan Walikota yang langsung diangkat menjadi para Menteri Kabinet.
4. Ada Hakim yang dapat langsung diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung.
5. Ada para Jaksa yang langsung dapat diangkat menjadi Jaksa Agung.
6. Ada Polisi yang langsung diangkat menjadi Kapolri.
7. Ada Tentara yang langsung diangkat menjadi Panglima TNI
8. Ada Anggota Komisi Yudisial, yang dapat langsung diangkat menjadi Ketua Komisi Yudisial.
9. Ada juga penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dapat langsung diangkat menjadi ketua KPK.
10. Ada juga Gubernur Bank Indonesia, untuk langsung diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia.
11. Ada angota Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dapat langsung diangkat menjadi Ketua KPU.
12. Ada Pegawai Imigrasi yang langsung dapat diangkat menjadi Menteri Hukum dan HAM/ Dirjen Imigrasi.
13. Ada Advokad untuk langsung diangkat menjadi ketua Peradi.
14. Ada para Auditor yang langsung bisa diangkat menjadi Ketua BPK.
15 Ada Profesor yang langsung dapat diangkat menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
16. Ada para Konsultan Hukum dan Ahli Hukum yang langsung dapat diangkat menjadi ketua Komisi Hukum Nasional,

Dan masih banyak lagi dipenjara tersedia Sumber Daya Manusia yang cukup secara kuantitas dan kualitas untuk membentuk"Negara Baru" yang efisien.

Dari apa yang dikemukakan diatas, yang menjadi kegelisahan saya adalah, sudah sedemikian parahkah Negara ini, sehingga dari semua instansi memiliki perwakilannya untuk mengisi sel-sel di dalam Penjara.

Lantas Konsep apa yang akan diterapkan agar Indonesia kembali menjadi negara yang bersih, terhormat dan bermartabat..?