Jumat, 28 September 2012

MENGGUGAT PERNYATAAN AMIEN RAIS YANG DAPAT MERUSAK PEMAHAMAN SERTA KEDUDUKAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


“Pancasila jangan sampai diposisikan seperti agama bayangan atau agama semu. Pancasila jangan dikultuskan, Pancasila jangan di sembah-sembah, dan Pancasila jangan menggusur agama,” ujar Amien dalam Seminar Nasional Empat Pilar Berbangsa yang digelar Fraksi PAN MPR di Jakarta, Selasa (10/7/2012).
“Menurut saya penataran P4 yang diajarkan pada Orde Baru sangat berlebihan karena menjadikan Pancasila seolah-olah sebagai agama semu. Memang penting bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memahami Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah negara. Namun jangan dikultuskan,” tegasnya.

Itulah pernyataan dari mantan ketua MPR dalam Seminar Nasional Empat Pilar Berbangsa yang digelar Fraksi PAN MPR di Jakarta, Selasa (10/7/2012). Tercatat dalam sejarah ia yang telah menjebolkan Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali dalam rentang waktu 2 (dua) Tahun yang membuat bangsa dan negara ini berjalam dalam kondisi yang tidak menentu dan semakin jauh pada tujuan negara. Dan pernyataan-nya kali ini bagi saya sudah tidak dapat dibiarkan saja, karena dapat semakin mengacaukan pemahaman serta kedudukan Pancasila yang selama ini telah menjadi Jatidiri bangsa Indonesia, falsafah bangsa, yang telah membuat bangsa ini utuh dan bertahan.

Bangsa Indonesia yang berasal dari pulau-pulau yang berada di wilayah Indonesia telah melahirkan Bangsa Indonesia melalui “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga, Bangsa Indonesia, pada awal mulanya, terdiri dari berbagai suku-suku asli yang ada di wilayah Indonesia dengan adat istiadatnya yang berbeda-beda.

Melihat keberaneka-ragaman perbedaan yang ada didalam Bangsa Indonesia (Suku, Agama, Golongan) maka ketika para pendiri bangsa melanjutkan perjuangannya untuk membentuk sebuah negara, mereka bersepakat membuat rumusan yang dapat mempersatukan berbagaimacam perbedaan tersebut, sehingga terbentuklah suatu rumusan yang disepakati dalam sidang yang diselenggarakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada awalnya beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa).

Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno diselenggarakan indoktrinasi operasionalisasi Pancasila dengan menyiapkan bahan yang dikenal sebagai “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi.”. Namun permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan. Gerakan Sparatis, Terorist, konflik horizontal banyak terjadi, dan itu karena bangsa Indonesia tidak melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen serta perlu untuk membenahi karakter bangsa dengan mengembangkan sikap dan perilaku warga negara sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya yang berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22 Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) melalui ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978. Dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia Seperti yang terdapat dalam Tap MPR pada konsideran menimbang, secara jelas ditekankan dalam huruf a “bahwa Pancasila yang merupakan pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia perlu dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan Nasional serta cita-cita Bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.

Kemudian huruf b menegaskan “bahwa demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan gerak langkah dalam hal menghayati serta mengamalkan Pancasila diperlukan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”. TAP MPR yang terdiri dari 6 (enam) pasal ini merupakan suatu kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI sebagai penjelmaan rakyat, yang berperan penting dalam menuntun dan menjadi Pandangan Hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat serta wajib ditindaklanjuti sebaik-baiknya oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Dalam pasal 1 dikatakan “bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”. Selanjutnya dalam pasal 4 kembali ditegaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.

Jika kita mencermati pasal 1 dan pasal 4 ini, maka dapat kita simpulkan bahwa materi muatan yang ada dalam P4, adalah merupakan Tonggak/kekuatan dari Implementasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Karena pedoman ini menjadi penuntun dan pegangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk perbedaan identitas yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) dilebur dan dibentuk menjadi satu pandangan dalam berbangsa/bermasyarakat dan bernegara.

Penyatuan pandangan/pegangan hidup inilah yang kemudian membentuk pola pikir “mindset” bangsa Indonesia menjadi satu, searah, dalam melihat, menilai segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, yaitu berdasarkan Pancasila. Sehingga terciptalah suatu bangsa yang kuat bersatu dalam perbedaan dan tidak mudah terpecah dengan upaya adu domba dengan menggunakan perbedaan dengan membenturkan nilai-nilai/akidah Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau yang populer disebut SARA.

Kemudian TAP MPR No. II Tahun 1978 ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama BP-7 Daerah.

Disinilah permasalahan yang timbul ketika pemerintah "Rezim Orde Baru" menindaklanjuti TAP MPR No. 2 Tahun 1978 Tentang P4 dengan metode pelaksanaannya melalui penataran yang dianggap oleh para kaum reformis merupakan upaya pendoktrinan dan menjadikan Pancasila sebagai alat untu melanggengkan kekuasaan Orde Baru pada saat itu.

Yang harus dibedakan adalah Pancasila yang merupakan jatidiri bangsa indonesia, yang menjadi dasar bangsa indonesia merdeka dan kemudian menjadi roh dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD 1945 yang secara penafsirannya ada dalam batang tubuh, sehingga dikatakan bahwa UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dari Pancasila karena merupakan tafsir secara rigid yang diturunkan dalam 37 Pasal yang ada dalam UUD 1945.

Pemahaman nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tidak bisa dibenturkan dengan nilai-nilai keagamaan, karena Pancasila merupakan suatu sifat bangsa Indonesia, yang menjadikan dasar Bangsa Indonesia Merdeka, yang dapat mempersatukan bangsa yang terdiri dari kelompok-kelompok (Agama, Adat, Budaya, golongan) yang berbeda-beda, dan cenderung lebih kepada komunal religius. Dan kelompok-kelompok atau pengkotakan-pengkotakan itu dapat dilebur dengan adanya suatu sifat yang dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut.

Karena itu, dalam lambang kenegaraan Garuda Pancasila diletakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram erat. Pemaknaan dari semboyan itu adalah tetap menghargai keragaman perbedaan Identitas yang ada (Agama, Suku, Adat, Budaya, Golongan) namun tetap satu ideologi, satu cara pandang, satu mindset dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang ada dalam PANCASILA.

Kesalahan yang dilakukan oleh Orde Baru, bukan berarti kemudian dapat dengan seenaknya merusak pemahaman yang telah dibangun untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini sudah terbangun dan saat ini sudah semakin berujung pada kehancuran.

Pernyataan yang disampaikan oleh Amien Rais menjadi sangat jelas terlihat bahwa ada agenda tersembunyi "hidden Agenda" yang ada didalamnya, karena ketika Pancasila dicabut dari kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang memiliki keberagaman perbedaan Identitas, maka sifat yang dapat mempersatukan perbedaan keaneka ragaman tersebut pun akan tercabut.

Dan faktanya saat ini, sesama Penyelenggara negara kerap berselisih/konflik,  Antar Lembaga Kenegaraan berselisih/konflik, antar lembaga kemasyarakatan pun konflik/berselisih. Masing-masing sudah berjalan sesuai kehendaknya masing-masing dan tercerai berai, sehingga cita-cita untuk mencapai kepada tujuan negara yang adil, makmur dan sejahtera tidak tercapai

Masihkah kita akan membiarkan upaya-upaya penghancuran terhadap bangsa dan negara ini terus berlangsung..????
Mari selamatkan bangsa dan negara ini dari upaya orang-orang yang memiliki agenda-agenda tersembunyi yang akan menghantarkan kepada kehancuran negara kita tercinta.

Salam Bhinneka..
NKRI & Merah Putih Harga Mati

Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)

Senin, 24 September 2012

REFLEKSI PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dalam Tap MPR No. 2 Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, dalam Pasal 4 dikatakan :
"Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap Penyelggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh"

Artinya TAP MPR No. 2 Tahun 1978 telah menjadikan Pancasila sebagai Pedoman yang berfungsi sebagai penuntun serta menyatukan pandangan hidup bagi setiap warganegara, penyelenggara negara, lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan.

Namun ketika Reformasi, Pedoman ini dicabut dengan TAP MPR No. 18 Tahun 1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. 2 Tahun 1978. dan secara otomatis Pedoman yang menjadikan Pancasila sebagai Pedoman bersama untuk menuntun serta menyatukan pandangan hidup telah tercabut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dan faktanya saat ini, sesama Penyelenggara negara kerap berselisih/konflik,  Antar Lembaga Kenegaraan berselisih/konflik, antar lembaga kemasyarakatan pun konflik/berselisih. Masing-masing sudah berjalan sesuai kehendaknya masing-masing dan tercerai berai.

Ironisnya, Pancasila saat ini hanya dijadikan komoditas oleh para elite yang hanya menjadikannya wacana/pepesan kosong tanpa adanya tindakan kongkrit untuk menjadikan Pancasila kembali menjadi Pedoman yang diformalkan dalam ketetapan yang dikeluarkan dari Lembaga Bangsa yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang pada tahun 1978 telah melahirkan sebuah Pedoman yang dapat menyatukan pandangan, pola pikir "mindset" yang dihasilkan dari suatu hasil musyawarah dalam sidang umumnya.

Salam,
VST