Rabu, 09 Maret 2011

SBY HARUS PERCAYA PADA KEKUATAN SISTEM PRESIDENSIAL

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah sistem pemerintahan negara indonesia menjadi Sistem Pemerintahan Presidensil, yang dapat menjamin stabilitas pemerintah. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen ke-IV), menjelaskan bahwa sistem pemerintahan kita dalah presidensil karena presiden adalah eksekutif,, sedangkan menteri adalah pembantu presiden.

Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensil terdiri dari 3 unsur, yaitu :
1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
2. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
3. tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.

Dalam sistem presidensil, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, penghianatan terhadap negara dan terlibat masalah kriminal, maka posisi presiden dapat dijatuhkan. bila presiden diberhentikan karena pelanggaran tertentu seperti yang diatur dalam konstitusi, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.

Jadi sudah sangat jelas bahwa dalam sistem presidensial, Presiden tidak dapat dijatuhi oleh parlemen dan penunjukan jabatan menteri ada dalam genggaman presiden karena presiden memiliki hak prerogatif sesuai apa yang di tuliskan dalam UUD 1945.

Jika kita melihat kondisi politik belakangan ini terutama mengenai reshuffle, maka timbulah pertanyaan dalam benak kita, Mengapa Partai demokrat sibuk melakukan lobby politik ke partai-partai lain dengan menawarkan jabatan menteri pada partai-partai baik partai koalisi maupun partai oposisi sehingga mengakibatkan kekisruhan dalam perpolitikan di negeri ini. Sementara Konstitusi sudah memberikan kewenangan terhadap jabatan menteri yang akan dipilih adalah merupakan kewenangan Presiden, dalam hal ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan tindakan/manuver yang dilakukan oleh Partai mengenai penawaran hingga penentuan siapa yang akan menduduki jabatan menteri, maka kesan yang terbentuk dimata masyarakat adalah partai politik merupakan Calo Kursi. Namun itu semua kembali kepada ketegasan dari sang Presiden, karena tindakan Partai Demokrat pun tidak lepas dari ketidak tegasan SBY dalam menentukan nasib kabinetnya sehingga Partai mengambil alih peran itu.

Seandainya SBY mengerti dan percaya pada kekuatan sistem Presidensial, ditambah lagi dengan masa jabatan SBY yang sudah memerintah selama 2 periode yang notabene 3,5tahun sisa masa pemerintahan kedepan adalah periode terakhir bagi SBY, maka seharusnya kekisruhan politik yang terjadi belakangan ini tidak akan berlarut-larut.

SBY tidak perlu dipusingkan dengan Koalisi, dan saatnya SBY menggunakan sisa waktu yang singkat ini untuk fokus kepada pembangunan kesejahteraan rakyat dengan menempatkan orang-orang yang profesional yang duduk dalam posisi Menteri untuk membantunya dalam mewujudkan Indonesia menjadi negara yang sejahtera, adil dan makmur.

Karena seharusnya posisi menteri yang notabene merupakan pembantu presiden yang akan memimpin departemen/non departemen yang menjadi pelaksana dalam kebijakan pemerintah yang bersentuhan langsung kepada rakyat sudah seharusnya diduduki oleh para profesional yang benar-benar mengerti dengan apa yang akan dikerjakan, dan benar-benar memiliki kemampuan untuk memimpin departemen tersebut. Bukannya malah diisi oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti dan tidak mampu, namun hanya karena mempertimbangkan kebutuhan dukungan dari partai politik nya sehingga dipilihlah orang tersebut yang menjadi perwakilan dari partai politik, masuk dan menjabat sebagai menteri.

Yang harus menjadi perhatian dan harus digaris bawahi adalah, dengan kekisruhan yang terus-menerus terjadi di wilayah elite politik, Teriakan rakyat yang menjerit karena menderita menjadi tidak terdengar dan terabaikan, karena para wakilnya sedang sibuk berkelahi untuk memperebutkan kekuasaan, tidak hanya partai penguasa, partai yang katanya partai wong cilik pun saat ini ikut berkelahi dalam menentukan ada atau tidak kadernya yang duduk dalam pemerintahan.

Ingat, Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Penjelmaan Suara Tuhan dalam pengertiannya adalah tidak mendengarkan suara rakyat sama saja menyakiti hati rakyat berarti sama dengan tidak mendengarkan suara Tuhan dan menyakiti perasaan Tuhan.

Salam

Senin, 07 Maret 2011

Perlunya Capres Independen di Pilpres 2014

Kondisi parpol saat ini sudah sangat melenceng dari apa yang dicita-citakan undang-undang partai politik, partai politik dijadikan kendaraan politik yang pada saatnya akan disewakan kepada “supir tembak” yang berambisi menjadi Kepala Daerah/kepala Negara (memperoleh kekuasaan).

Ketika trend artis menjadi politisi mulai merebak, pragmatisme parpol pun mulai menjadi-jadi. Dengan melihat dibeberapa pilkada dimenangkan oleh calon yang hanya didukung oleh partai kecil namun karena adanya nilai plus dari si wakil yang merupakan publik figure (artis), berbondong-bondong pula dalam pencalegan para parpol berebut untuk merekrut artis sebanyak-banyaknya dengan harapan partainya dapat memenangkan pemilu legislatif hingga dapat menuju perebutan kursi panas kekuasaan eksekutif (Presiden) tanpa memikirkan apakah calon yang diusungnya memiliki kualitas, mempunyai visi dan mampu menjalankan sistem ketatanegaraan yang baik dan proporsional.

Kemudian jika kita melihat kembali dalam Pilkada diberbagai daerah yang berjumlah penduduk besar seperti di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat hasil yang diperoleh dari masing-masing wilayah mempunyai kesimpulan yang sama, yaitu pemenang pilkada jika dilihat dari persentase pemilih adalah golput. Persentase golput lebih besar daripada para kepala daerah yang terpilih.

Ini membuktikan bahwa kejenuhan masyarakat kepada partai politik telah memuncak, rakyat telah apatis terhadap partai politik. Janji-janji para juru kampanye partai yang selalu diucapkan dalam setiap panggung hanyalah kebohongan yang dikemas sehalus mungkin hanya untuk dapat memperoleh kekuasaan, dan setelah kekuasaan tersebut didapat rakyat tetap saja sengsara, janji hanyalah tinggal janji.

Kekhawatiran pun mulai muncul dalam benak kita bagaimana jika dalam pilpres pemimpin yang terpilih tidak lebih besar persentase pemilihnya daripada yang tidak memilih. Akhirnya yang terjadi adalah pemenang pilpres secara legitimasi dirinya tidak terlgitimasi dan tidak memperoleh kedaulatan dari seluruh rakyat Indonesia atau minimal 2/3 dari jumlah rakyat Indonesia. Maka stabilitas nasional negara akan kembali begejolak.

Kemudian bagaimana jika pemilu caleg dan pilpres masuk dalam putaran kedua, maka pengeluaran anggaran pun bertambah, Berapa banyak uang negara yang didapatkan dari pajak yang diambil dari rakyat dihamburkan hanya untuk mendapatkan seorang pemimpin negara. Sebegitu mahalkah cost politic dalam sebuah negara demokrasi? Apakah setelah membeli dengan harga yang sangat mahal, Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyat dan akan mengutamakan kepentingan rakyat?

Maka, dari segala permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa, meningkatnya golput menandakan bahwa masyarakat butuh angin segar dalam perpolitikan di Indonesia. Masyarakat butuh alternatif yaitu adalah sebuah figure yang muncul bukan karena konspirasi elite partai. Maka untuk kondisi sekarang ini calon independen sangatlah tepat diikutsertakan sebagai sulusi untuk merangkul golongan masyarakat yang telah apatis terhadap parpol (Golput) sang semakin meningkat. Sehingga siapapun pemimpin yang terpilih adalah hasil dari suatu kompetisi dan sesuai dengan nilai demokrasi yang benar-benar demokratis sehingga mendapatkan legitimasi secara penuh dari seluruh rakyat Indonesia.

Keikutsertaan calon independen diyakini agar para elite parpol kembali mengevaluasi apakah parpol sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan Undang-undang, kedua mengurangi tingkat korupsi yang seringkali disebabkan adanya keharusan setoran-setoran yang wajib diberikan oleh kader parpol yang terpilih dalam pilkada maupun pemilu legislatif dan eksekutif beserta jajaran kabinetnya kepada partai politik pengusungnya.
Arti sejati Demokrasi adalah “DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT, UNTUK RAKYAT” itulah cerminan dari CALON INDEPENDEN yang memang diusung DARI RAKYAT, dipilih OLEH RAKYAT dan mengabdi UNTUK RAKYAT. Bukan seperti yang diartikan dan diterapkan selama ini adalah “DARI PARPOL, OLEH RAKYAT, UNTUK PARPOL”. Maksudnya adalah diusung DARI PARPOL, kemudian disajikan dan dipilih OLEH RAKYAT, dan mengabdi UNTUK KEPENTINGAN PARPOL DAN KELOMPOK.



“VOX POPULI VOX DEI”
“SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN”
“MEMANIPULASI SUARA RAKYAT SAMA DENGAN MEMANIPULASI SUARA TUHAN”

TKI adalah "Pahlawan" Devisa, Benarkah..???

Tepatkah jika kita mengatakan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah Pahlawan Devisa...?

Dalam Konstitusi, Negara menjamin kesejahteraan, hak hidup, pekerjaan warga negaranya, dan sudah menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Jika kita melihat Negara Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki Sumber Daya Alam (kekayaan alam) yang melimpah, laut yang kaya akan kekayaan hayati, tanah yang subur, hasil tambang seperti emas, perak, tembaga, minyak bumi,, uranium yang luar biasa banyaknya. Ditambah dengan wilayah yang begitu luas yang memungkinkan dapat terciptanya industri-industri yang dapat menyerap tenaga kerja lokal.

Namun mengapa Masyarakat Indonesia lebih senang menjadi tenaga kerja diluar negeri, dan yang lebih ironisnya adalah mayoritas Tenaga Kerja Indonesia bekerja di luar negeri menduduki level pekerjaan paling rendah seperti :  Pembantu Rumah Tangga (PRT), Buruh Kasar. Sehingga kerap kali TKI sering mendapatkan perlakuan yang tidak layak seperti dihina, disiksa, bahkan dibunuh dengan cara yang mengenaskan.

Sering kita dengan bahwa Tenaga Kerja Indonesia atau yang sering disebut TKI adalah Pahlawan Devisa Negara. Yang menjadi pertanyaan mengapa Gelar Pahlawan devisa diberikan oleh pemerintah kepada TKI dan banyak LSM maupun TKI mendukung gelar tersebut disematkan kepada TKI..? Apakah TKI sudah menerima perlakuan seperti layaknya seorang Pahlawan?

Mari kita melihat apa arti pahlawan yang sebenarnya,

Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.

Kemudian berdasarkan Undang-undag Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan, dalam ketentan umum dikatakan bahwa Pahlawan Nasional adalah Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Tanda Kehormatan Bintang Republik yang terdiri atas 5 (lima) kelas, yakni :
1. Bintang Republik Indonesia Adipurna;
2. Bintang Republik Indonesia Adipradana;
3. Bintang Republik Indonesia Utama;
4. Bintang Republik Indonesia Pratama;
5. Bintang Republik Indonesia Nararya.

Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera yang terdiri atas 5 (lima) kelas, yakni :
1. Bintang Mahaputera Adipurna;
2. Bintang Mahaputera Adipradana;
3. Bintang Mahaputera Utama;
4. Bintang Mahaputera Pratama;
5. Bintang Mahaputera Nararya.

Silahkan anda lihat, apakah TKI kita selama ini sudah diperlakukan selayaknya seorang pahlawan oleh pemerintah? Apakah ada salah satu dari TKI kita yang diberikan gelar kepahlawanan sebagai perhargaan pahlawan Devisa Negara?

Cara negara memperlakukan seorang pahlawan yang sering kita lihat bersama adalah dengan memberikan penganugerahan bintang jasa kepahlawanan, mengabadikan namanya sebagai nama jalan, memasukan namanya dan tindakannya dalam museum kepahlawanan dan membangun monumen / patung agar dapat terkenang sepanjang masa.

Menurut saya, Gelar Pahlawan Devisa Negara yang diberikan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita adalah merupakan PEMBOHONGAN PUBLIK yang merupakan strategi pemerintah dengan sengaja membuat Stigma "Pahlawan" agar melekat dalam diri para TKI, untuk menutupi kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Gelar tersebut diberikan agar orang yang bekerja sebagai TKI bangga karena dirinya adalah seorang pahlawan penghasil devisa untuk negaranya.

Coba kita melihat secara cermat, sebenarnya pemerintah sedang menggadaikan warga negaranya menjadi pekerja di negara lain, karena tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya, karena tidak mampu mengelola kekayaan negara sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan kemudian mendapatkan kompensasi pajak yang sering disebut devisa negara. Apakah hal ini lebih tepat jika dikatakan bahwa TKI adalah SAPI PERAH Negara..??

Jika memang benar gelar pahlawan devisa itu diberikan kepada TKI, seharusnya pemerintah memperlakukan seluruh TKI layaknya seorang Pahlawan, namun yang terjadi adalah pemerintah hanya diam, bahkan terlihat tidak perduli terhadap nasib TKI "Pahlawan Devisa" yang terlantar, disiksa, dibunuh di negara lain.

Ironisnya, banyak orang, LSM yang mengaku pembela nasib TKI yang mendukung kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah dengan terus mengatakan bahwa TKI adalah Pahlawan Devisa Negara.

Sudah saatnya kita STOP kebohongan itu...

Jangan lagi katakan bahwa TKI adalah Pahlawan Devisa, jika TKI tidak diberikan haknya layaknya seorang pahlawan. Sehingga orang tidak lagi berbondong-bondong menjadi TKI karena bangga dirinya akan menjadi pahlawan devisa negara.

Saatnya kita menuntut agar pemerintah dapat meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan sehingga dapat menurunkan angka TKI yang bekerja di Luar Negeri.